Sejarah EPI
Setelah membahas tentang
sejarah terangkumnya ekonomi politik menjadi satu kajian studi, penulis akan
melangkah pada sejarah Ekonomi Politik Internasional (EPI). Pada dasarnya
mengapa studi EPI ini muncul adalah disebabkan oleh terjadinya suatu
ketimpangan antara keikutsertaan ekonomi dan teknik interdependence dari
masyarakat nasional (ekonomi-politik) dan berlanjut pada penggolongan sistem
politik dunia kedalam negara berdaulat yang independent. Hal ini megangkat isu
ketergantuangan baik secara mutual maupun unsimetris karena yang menjadi
sentral dalam studi EPI adalah logika antara pasar dan logika negara .
Jika menelisik kebelakang, mengapa studi ini berkembang, bisa menarik mundur pada awal tahun 1970an saat awal era post-war. Pada saat itu, telah kentara sekali negara yang dapat berkembang dan mencapai keuntungan dengan negara yang tidak dapat berkembang. Dengan adanya pola stabilitas baru seperti ini, maka tidak dapat dipungkiri sistem saling mempengaruhi dan interdependence menjadi suatu bahasan yang sentral dalam EPI.
Jika menelisik kebelakang, mengapa studi ini berkembang, bisa menarik mundur pada awal tahun 1970an saat awal era post-war. Pada saat itu, telah kentara sekali negara yang dapat berkembang dan mencapai keuntungan dengan negara yang tidak dapat berkembang. Dengan adanya pola stabilitas baru seperti ini, maka tidak dapat dipungkiri sistem saling mempengaruhi dan interdependence menjadi suatu bahasan yang sentral dalam EPI.
Perspektif Ekonomi
Politik Internasional
Perspektif Merkantilis
Perspektif
ini memandang bahwa Negara menjadi actor utama yang secara aktif dan rasional
mengatur ekonomi demi meningkatkan kekuatan kekuasaan Negara.
Membangun
suatu Negara bangsa yang kuat diperlukan akumulasi capital sebanyak-banyaknya.
Sehingga pembangunan ekonomi diprioritaskan. Apabila untuk memenuhi capital
yang diinginkan tersebut tidak bisa dicukupi dengan pemanfaatan sumber-sumber
capital dalam negeri, maka dilakukanlah perdaganagan internasional. Demi
mendapatkan keuntungan maksimal, maka pemerintah harus memainkan kebijaksanaan
“nasionalis-ekonomis”. Yaitu dengan (a) pemerintah mengendalikan (menekan)
sepenuhnya harga barang dan gaji buruh, sehingga bisa dijual dengan harga
bersaing di pasar internasional, (b) menerapkan strategi prduksi substitusi
barang impor, (c) memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor. Strategi ini
juga bisa dilakukan oleh negera-negara yang lemah dengan alas an membiarkan
pasar bebeas berlaku, sementara posisi sendiri lemah, hanya akan menghancurkan
diri sendiri.
Sistem
merkantilis ini dalam praktiknya dijalankan oleh Negara-negara yang telah lebih
dahulu menjadi hegomonik, misal kebijakan Inggris pada abad18. Tujuannya adalah
untuk mencapai tujuan nasionalnya yakni mempertahankan dan memperbesar
kekuatannya. Namun pengikut paham ini juga memberikan kemungkinan Negara
“baru” untuk menang dalam kancah persaingan internasional dengan syarat
Negara tersebut menerapkan kebijakan proteksionis dan aktif.
Dala
studi politik, pesrspektif ini dikenal sebagai realism politik. Kritik kepada
perspektif, baik merkantilisme maupun realism, adalah bahwa kedua perpektif ini
terlalu berlebihan dalam menekankan kepentingan nasional. Sehingga kepentingan
global terkorbankan. Para pengikut perspektif ini lupa bahwa di dunia ini,
terdapat beberapa bidang yang semua Negara memiliki kepentingan sama sehingga
bisa dijadikan basis kerjasama. Para pengkritik ini terutama datang dari kaum liberal.
Perspektif Liberal
Dipelopori
oleh David Ricardo dan Adam Smith, mereka mengkritik pengendalian ekonomi yang
berlebihan oleh Negara. Perspektif liberal mengajukan argument bahwa cara yang
paling efektif untuk meningkatkan kekayaan suatu Negara adalaha dengan
membiarkan individu-individu di dalamnya secara bebas berinteraksi dengan para
individu Negara lain. Mereka menganjurkan pasar bebas.
Konsepsi
liberal ini didasarkan pada gagasan mengenai kedaulatan pasar dalam ekonomi,
dengan mengasumsikan bahwa semua manusia secara alamiah memiliki keselarasan
kepentingan. Karena itu, kalau individu dibiarkan mengejar kepentingan
masing-masing yang didasarkan pada suatu pembagian kerja dan pada struktur atau
komposisi factor-faktor produksinya sendiri, maka kesejahteraan individu,
nasional akan meningkat.
Perspektif
ini mengasumsikan bahwa manusia selalu rasional dan berusaha memaksimalkan
perolehan. Rasional dalam artian kalkulalasi untung-rugi. Seorang actor demi
memperoleh perolehan maksimal pastinya melakukan kalkulasi untung-rugi
tersebut, sehingga keputusannya merupakan hal yang dianggap memenuhi kepuasan
subjektif tertinggi.
Kaumliberal
percaya bahwa dengan saling berinteraksinya Negara-negara melalui perdagangan
internasional, konflik bisa terhindarkan. Bahkan bisa membawa keuntungan
bersama sehingga kesejahteraan mereka akan meningkat.
Keputusan
para pelaku ekonomi mengenai apa yang harus diproduksi dan dijual berdasarkan
pertimbangan keunggulan koparatif (comparative advantage). Yakni setiap Negara harus
memiliki spesialisasi dalam produksi barang sehingga memiliki keuntungan
komparatif (harga terendah, waktu produksi tercepat) tertinggi dari pada
rekanan dagang yang lain. Dan inilah yang dijadikan komoditas ekspor. Sedangkan
Negara tersebut lebih baik mengimpor barang-barang luar negeri yang memiliki
posisi keuntungan komparatif lebih baik. Sehingga dari sini efisiensi terjadi.
Peran
Negara sangat terbatas pada penyediaan fondasi bagi bekerjanya system pasar,
seperti pembangunan infrastruktur, penegakkan hukum, menjamin keamanan,
mencegah persaingan tidak sehat, dan menyelenggarakan pendidikan. Dengan
demikian, menurut persektif liberal, ekonomi dan politik merupakan bidang yang
terpisah.
Kritik
untuk persektif ini adalah, (a) gagasan liberal hanya menguntungkan yang paling
efisien, yaitu si kuat, dan merugikan yang tidak efisien. Ditambah lagi dengan
kemampuan Negara-negara kuat untuk memiliki kualitas yang baik, harga rendah,
produksi cepat,mereka memiliki teknologi. Lebih lanjut industry yang menggunakan
teknologi yang canggih merupakan industry padat modal, sehingga tidak mempu
menyerap banyak tenaga kerja, (b) liberalism juga mengingkari fakta bahwa semua
bangsa memiliki kemampuan yang sama untuk berkompetisi. Padahal faktanya
kita menemukan “ketimpangan relasional” bangsa-bangsa.
Perspektif Radikal
Basis
pokok perspektif ini adalah gagasan Marxisme. Sementara perspektif liberal
memandang pasar bisa memungkinkan individu memaksimalkan perolehan, kaum Marxis
meilhat kapitaslisme dan pasar telah menciptakan kekayaan untuk kepitalis dan
kemiskinan untuk kaum buruh. Perpektif ini memiliki tujuan kegiatan ekonomi
(dan politik) untuk redistribusi kekayaan dab kekuasaan.
Kaum
radikal membuat beberapa asumsi berikut. Pertama, bahwa kelas social adalah actor
dominan dalam ekonomi dan politik. Kedua, bahwa kelas-kelas tersebut bertindak
berdasarkan kepentingan materiil mereka. Ketiga. Bahwa basis dari ekonomi kapitalis
adalah eksploitasi kelas buruh oleh kapitalis. Asumsi ketiga ini membawa
kesimpulan bahwa baginya, buruh dan kapitalis merupakan dua actor antagonis.
Namun
dalam perspektif ini juga ditemukan beberapa kelemahan: (a) terlalu menekankan
kelas sebagai variabel penyebab kegiatan ekonomi, (b) argument radikal sering
tidak tampak realistic, missal anjuran bagi Negara berkembang untuk keluar dari
kegiatan perdagangan internasional.
Perspektif Reformis
Perspektif
ini mengusung konsepsi Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB), muncul sebagai
kritik atas ketiga perspektif di atas. Mereka tidak setuju dengan penekan
berlebihan kaum liberal terhadap
pertimbangan efisiensi sehingga merugikan actor yang lebih lemah. Mereka tidak
setuju dengan kaum radikal untuk melakukan perubahan revolusioner menentang
system kapitasis. Karena mereka lebih percaya pada reformasi struktur hubungan
internasional Dan walaupun mereka setuju dengan gagasan merkantilis mengenai
peran aktif Negara dalam urusan ekonomi internasional, mereka lebih bersikap
internasionalis daripada nasionalis.
Yang
penting bukannya meninggalkan arena internasional dan menutup diri, terapi
berusaha menciptakan suatu tatanan baru sehingga lebih adil. Agar efektif,
harus terjadi kerjasama semua Negara Kurang Berkembang (NKB) melalu mekanisme collective
self-relience dan collective
bargaining.
Namun
tetap saja, perspektif ini pun memiliki beberapa kelemahan. (a) Apakah para
pemimpin NKB, dengan system pemerintahan yang berbeda-beda, mau saling
bekerjasama?, (b) Apakah mereka punya cukup ”senjata” untuk melakukan bargaining. (c) Apakah Negara-negara kaya
mau begitu saja dipaksa menyerahkan kekayaannya kepada Negara miskin?
Perspektif
nasionalisme merupakan bagian dari fase dalam sejarah
kebijakan ekonomi, atau sebuah sistem tentang kebijakan ekonomi yang banyak
dipraktekan oleh para negarawan Eropa dalam rangka menjamin kesatuan politik
dan kekuatan nasionalnya. Sistem ini dikenal dengan sebutan the commercial
or mercantile system, yang dipelopori Adam Smith, sehingga seringkali
pendekatan dari perspektif nasionalisme disebut juga dengan merkantilisme
(Gilpin, 1987:32). Kaum merkantilis memiliki pandangan bahwa elit-elit politik
berada pada garis depan pembangunan negara modern. Merkantilisme melihat
perekonomian internasional sebagai arena konflik antara kepentingan nasional
yang bertentangan daripada sebagai wilayah kerjasama yang saling menguntungkan.
Merkantilisme melihat kekuatan ekonomi dan kekuatan politik sebagai tujuan yang
saling melengkapi, bukan saling bersaing, dalam lingkaran arus balik positif.
Pencapaian kekuatan ekonomi mendukung pengembangan kekuatan politik dan militer
negara dan kekuatan politik dapat meningkatkan dan memperkuat ekonomi
negara. Kaum merkantilis menyatakan bahwa perekonomian seharusnya tunduk pada
tujuan utama peningkatan kekuatan negara, politik harus di utamakan daripada
ekonomi. Tetapi isi dari kebijakan-kebijakan spesifik yang direkomendasikan
untuk menjalankan tujuan tersebut telah berubah sepanjang waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar